Hanya Aku Dan Jejakmu

Hanya Aku Dan Jejakmu

Prolog: Kisah yang Tertinggal

Aku selalu berpikir bahwa cinta sejati adalah sesuatu yang akan bertahan selamanya. Namun, hidup menunjukkan bahwa cinta sering kali meninggalkan jejak yang tak bisa dihapus, seperti bekas tapak kaki di pasir. Saat ombak datang, tapak itu menghilang, tapi kenangan tentangnya tetap tertanam dalam hati. Kisah ini adalah tentang cinta, kehilangan, dan menemukan jejak yang pernah hilang.

Pertemuan yang Mengubah Segalanya

Aku bertemu dengannya pada hari yang tak terduga. Pagi itu, aku melangkah keluar dari kafe kecil tempatku biasa minum kopi. Aku sedang asyik memikirkan proyek kerja yang mendesak, ketika aku secara tidak sengaja menabraknya di trotoar.

“Aduh, maaf,” kataku sambil melihat ke arah wanita yang baru saja kutabrak. Rambut panjangnya berkilauan di bawah sinar matahari pagi, dan matanya yang besar menatapku dengan kejutan. “Aku benar-benar tidak melihatmu.”

Dia tersenyum, senyum yang membuat jantungku berdebar. “Tidak apa-apa. Aku juga sedang tidak memperhatikan jalan.”

Kami tertawa kecil, dan itulah awal dari sesuatu yang tak pernah kuduga. Namanya adalah Lia, seorang wanita yang ceria, dengan tawa yang bisa menerangi hari siapa pun. Kami berbicara sejenak sebelum dia harus pergi, tapi percakapan singkat itu meninggalkan kesan yang mendalam. Hari itu, aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Seolah-olah ada sesuatu yang tertinggal dalam diriku setelah pertemuan itu, sesuatu yang mendesakku untuk bertemu dengannya lagi.

Jejak di Sepanjang Jalan

Minggu-minggu berlalu dan aku sering kali berharap bisa bertemu dengannya kembali di tempat yang sama. Meskipun kota ini besar, aku merasa seperti setiap sudut jalan adalah pengingat akan pertemuan kami. Jejak-jejak kecil yang ditinggalkannya di hatiku mulai tumbuh menjadi sesuatu yang lebih besar.

Aku mulai sering datang ke kafe itu, berharap bisa melihatnya lagi. Aku bahkan berjalan melewati tempat kami bertabrakan berulang kali, mengingat bagaimana kami tertawa bersama di hari itu. Tapi Lia tidak pernah muncul lagi. Meskipun begitu, aku terus merasakan kehadirannya di setiap jejak langkahku. Aku bertanya-tanya apakah dia merasakan hal yang sama, atau apakah pertemuan kami hanyalah kebetulan baginya.

Suatu sore, ketika aku hampir putus asa, aku melihatnya duduk di bangku taman yang tidak jauh dari tempat kami bertemu pertama kali. Perasaanku bercampur aduk antara bahagia dan gugup. Namun, sebelum aku bisa menghampirinya, dia sudah bangkit dan berjalan pergi. Aku ingin memanggilnya, tapi entah mengapa, aku merasa seolah-olah ada dinding tak terlihat yang menghalangiku.

Langkah yang Membawa Kembali

Hari itu, aku mulai mengejar jejaknya. Aku berjalan di jalan yang sama, mengikuti langkahnya dari jauh. Dia menuju ke sebuah toko buku kecil di pojok jalan, tempat yang tidak pernah kusinggahi sebelumnya. Aku masuk ke toko itu setelah dia, berpura-pura melihat-lihat buku, tapi kenyataannya, aku hanya ingin berada di dekatnya.

Lia tampak tenggelam dalam dunia buku, tanpa menyadari kehadiranku. Dia memilih beberapa buku, membayar di kasir, dan melangkah keluar. Aku mengikuti dari kejauhan, merasa seperti seorang pengintai yang bodoh. Tapi ada sesuatu dalam diriku yang mendorongku untuk terus mengikutinya.

Langkahnya membawaku ke tempat yang tidak pernah kusangka. Sebuah rumah kecil di pinggiran kota, dengan taman yang tertata rapi dan bunga-bunga yang bermekaran. Dia masuk ke dalam rumah itu, dan aku hanya bisa berdiri di luar, melihat dari kejauhan.

Sejak saat itu, rumah kecil itu menjadi salah satu tujuan rutin dalam perjalanan hidupku. Aku sering lewat di depannya, berharap bisa melihatnya lagi. Namun, setiap kali aku melintasinya, rumah itu tampak sepi. Lia seolah-olah menghilang dari pandangan, tapi jejak yang ditinggalkannya tetap tertanam dalam ingatanku.

Perasaan yang Terkubur

Waktu berlalu, dan aku mulai merasa bahwa aku harus melupakan Lia. Tapi semakin aku mencoba, semakin kuat kenangan tentangnya muncul. Jejak-jejak kecil yang dia tinggalkan, senyumannya, tawa lembutnya, semuanya masih menghantui pikiranku.

Suatu hari, saat hujan deras mengguyur kota, aku menemukan diriku berdiri di depan rumah kecil itu lagi. Aku tidak tahu apa yang membawaku ke sana, mungkin keinginan untuk melihatnya sekali lagi, atau mungkin hanya harapan kosong bahwa aku bisa menemukan jawaban atas perasaan yang menggangguku.

Saat aku berdiri di sana, pintu rumah itu tiba-tiba terbuka. Lia keluar, mengenakan jaket tebal dan membawa payung. Dia terlihat terkejut melihatku di sana, dan sejenak, kami hanya saling menatap tanpa berkata apa-apa.

“Hei,” akhirnya aku menyapa, mencoba tersenyum meski hatiku berdebar kencang. “Kebetulan kita bertemu lagi.”

Dia tertawa kecil, tapi ada sesuatu di matanya yang tampak berbeda. “Ya, kebetulan yang aneh.”

Aku merasa ada banyak yang ingin kukatakan padanya, tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokanku. Lia mengajakku masuk, dan kami duduk di ruang tamunya yang hangat, sambil mendengarkan suara hujan di luar. Pembicaraan kami mengalir, tapi aku bisa merasakan ada jarak yang tak terlihat di antara kami, sesuatu yang tidak kumengerti.

Hujan dan Kenangan

Malam itu, kami berbicara lama tentang banyak hal, dari buku yang dia baca hingga kenangan masa kecilnya. Aku belajar bahwa dia adalah seorang wanita dengan banyak mimpi dan ambisi, seseorang yang penuh dengan kehidupan meskipun ada bayangan kesedihan di matanya.

Kami berbicara tentang hujan yang mengguyur di luar, tentang bagaimana hujan selalu membawa kenangan bagi masing-masing dari kami. Lia bercerita tentang hujan yang mengingatkannya pada seseorang yang pernah dia cintai, seseorang yang meninggalkan jejak tak terhapuskan dalam hidupnya.

Aku bisa merasakan kepedihan dalam suaranya, dan aku menyadari bahwa jejak yang dia tinggalkan padaku bukanlah satu-satunya yang ada. Ada jejak lain, jejak seseorang yang tidak bisa dia lupakan, seseorang yang membuat hatinya selalu terluka saat hujan turun.

Aku mendengarkannya dengan hati yang berat, menyadari bahwa ada bagian dari dirinya yang tidak akan pernah bisa kumiliki. Namun, meski begitu, aku tetap ingin berada di sampingnya, mengikuti jejaknya, meskipun aku tahu jejak itu mungkin tidak akan pernah mengarah kepadaku.

Mengikuti Jejakmu

Setelah malam itu, hubungan kami berubah. Kami menjadi lebih dekat, tapi juga lebih terpisah. Aku mulai mengenalnya lebih dalam, memahami ketakutan dan harapannya, tapi aku juga menyadari bahwa ada bagian dari dirinya yang tetap tertutup rapat.

Lia sering bercerita tentang masa lalunya, tentang orang yang dia cintai dan bagaimana hubungan mereka berakhir dengan cara yang menyakitkan. Aku bisa melihat betapa dalam luka itu, dan aku berusaha untuk tidak memperburuknya. Aku tahu bahwa dia mencoba melupakan masa lalunya, tapi jejak itu tetap ada, tidak bisa dihapus.

Kami sering berjalan-jalan bersama, mengunjungi tempat-tempat yang penuh kenangan baginya. Aku mengikuti jejak langkahnya, berharap bisa memahami perasaannya, tapi setiap kali aku merasa hampir sampai, dia menarik diri.

Aku mulai merasa seperti hanya bayangan dalam hidupnya, seseorang yang mengikuti tanpa tujuan yang jelas. Namun, meskipun begitu, aku tidak bisa berhenti. Ada sesuatu yang membuatku terus berjalan di belakangnya, mengikuti jejak yang dia tinggalkan, berharap suatu hari aku bisa berdiri di sampingnya.

Menemukan yang Hilang

Suatu hari, Lia menghilang. Tidak ada pesan, tidak ada jejak yang bisa kuikuti. Aku mencari ke mana-mana, bertanya pada teman-temannya, tapi tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Perasaan kehilangan itu menghancurkan hatiku, seolah-olah bagian dari diriku ikut pergi bersamanya.

Aku mencoba meneruskan hidup, tapi bayangannya terus menghantuiku. Setiap kali aku melewati tempat-tempat yang biasa kami kunjungi, kenangan tentangnya kembali menghantamku dengan keras. Aku tidak bisa melupakan senyumnya, tawa ringannya, dan jejak yang dia tinggalkan dalam hidupku.

Setelah berminggu-minggu mencari tanpa hasil, aku mulai kehilangan harapan. Namun, suatu sore, ketika aku sedang berjalan di sepanjang jalan yang biasa kami lalui, aku melihatnya. Dia duduk di bangku taman, tempat kami pertama kali bertemu, dengan wajah yang tampak jauh lebih tenang dari sebelumnya.

“Aku tahu kamu akan menemukanku di sini,” katanya saat aku mendekatinya. Senyumnya kembali muncul, tapi kali ini ada kedamaian di baliknya.

Lia bercerita bahwa dia pergi untuk menemukan dirinya sendiri, untuk melepaskan jejak masa lalu yang terus menghantuinya. Dia menyadari bahwa selama ini dia mencoba melarikan diri dari perasaan itu, tapi akhirnya dia menyadari bahwa dia harus menghadapinya, bukan menghindarinya.

Cinta yang Tak Pernah Padam

Pertemuan itu membawa kami ke arah yang baru. Kami mulai membangun kembali hubungan kami, tapi kali ini dengan fondasi yang lebih kuat. Lia akhirnya bisa melepaskan masa lalunya, dan aku merasa lega karena aku bisa menjadi bagian dari proses itu.

Kami sering berbicara tentang masa depan, tentang mimpi-mimpi yang ingin kami capai bersama. Meskipun ada bekas luka yang tak akan pernah hilang, kami belajar untuk menerimanya sebagai bagian dari siapa kami. Kami mulai merajut kebahagiaan bersama, menciptakan jejak baru yang bisa kami ikuti bersama-sama.

Epilog: Jejak yang Abadi

Jejak yang Lia tinggalkan dalam hidupku tidak akan pernah hilang, tapi sekarang, jejak itu bukan lagi kenangan yang menyakitkan. Jejak itu adalah tanda cinta yang tak pernah padam, meskipun perjalanan kami tidak selalu mulus.

Setiap kali aku melihat jejak kami di sepanjang jalan yang pernah kami lalui bersama, aku tahu bahwa kami telah menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar cinta. Kami telah menemukan kebersamaan yang abadi, dan dalam jejak itu, kami menemukan diri kami yang sesungguhnya.

Cinta mungkin datang dan pergi, tapi jejak yang ditinggalkannya akan selalu ada. Dan sekarang, aku tahu bahwa jejak itu adalah bagian dari kisah kami, kisah tentang cinta yang tidak pernah pudar, hanya tersimpan dalam hati yang paling dalam.

By Khaliza Nutfah

Lihat Juga Karya Tulis Lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *