3 Isyarat Luka

Pertemuan Tak Terduga

Di sebuah kafe kecil di pinggir kota, Nina duduk di sudut dengan secangkir kopi yang sudah hampir habis. Tatapannya melayang ke luar jendela, memperhatikan hujan yang turun dengan lembut, menambah suasana sepi sore itu. Dia sedang menunggu seseorang, tetapi tak ada tanda-tanda kehadiran orang itu.

Nina menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tak beraturan. Sudah tiga minggu sejak ia bertemu kembali dengan Dika, pria yang pernah menjadi bagian besar dari hidupnya. Dika adalah cinta pertamanya, namun pertemuan mereka kembali setelah bertahun-tahun berpisah membawa lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

Dika muncul di hadapannya beberapa minggu yang lalu, tanpa peringatan, seakan masa lalu mereka yang rumit tak pernah terjadi. Kini, Nina berada di sini, menunggu jawaban dari pesan yang ia kirimkan kepada Dika untuk bertemu dan membicarakan semuanya. Namun, satu jam berlalu dan Dika masih belum muncul.

Nina merapikan rambutnya yang tergerai, matanya masih menatap ke luar jendela. Tiba-tiba, pintu kafe terbuka dan seorang pria masuk dengan mantel basah. Pria itu bukan Dika, tapi Raka, seorang teman lama yang tak pernah Nina duga akan bertemu di sini.

“Nina?” Raka mendekat dengan senyum lembut di wajahnya.

Nina terkejut, tapi segera tersenyum kembali. “Raka? Lama tak jumpa! Apa kabar?”

Raka duduk di kursi di depan Nina tanpa menunggu diundang. “Baik. Tak menyangka akan bertemu kamu di sini. Sudah lama ya?”

Mereka berbincang sejenak, mengenang masa-masa lalu yang sudah berlalu begitu lama. Meski senang bertemu Raka, Nina tak bisa menghilangkan pikirannya yang terus tertuju pada Dika. Raka menyadari tatapan kosong Nina dan bertanya, “Kamu sedang menunggu seseorang?”

Nina terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Ya, seorang teman lama.”

Raka tersenyum penuh pengertian, tapi sebelum ia bisa mengatakan apa-apa, ponsel Nina berbunyi. Sebuah pesan dari Dika masuk: Maaf, aku tak bisa datang. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan dulu. Kita bisa bertemu lain kali.

Nina menatap pesan itu dengan hati yang berdebar. Ada sesuatu yang aneh dalam nada pesan itu, seolah-olah Dika sedang menyembunyikan sesuatu yang besar. Namun, sebelum Nina bisa menanggapi pesan itu, Raka mengajaknya untuk makan malam bersama.

“Daripada kamu menunggu di sini sendirian, bagaimana kalau kita makan malam bersama? Sudah lama sekali sejak kita mengobrol seperti ini.”

Nina akhirnya setuju, meskipun pikirannya masih penuh dengan Dika. Di tengah-tengah makan malam, Nina menyadari sesuatu yang aneh pada diri Raka. Tatapannya, sikapnya, seakan-akan ia juga sedang menyimpan sesuatu yang penting. Namun, Raka tak pernah mengungkapkan apapun.

Malam itu, Nina pulang dengan perasaan campur aduk. Rasa penasaran semakin membara di hatinya, dan dia merasa seolah ada sebuah rahasia besar yang mengintai di antara dirinya, Dika, dan Raka. Malam yang panjang ini menandai awal dari serangkaian kejadian yang akan mengubah hidupnya selamanya.


Tanda Pertama

Beberapa hari kemudian, Nina mendapatkan sebuah kiriman paket tak bertanda. Paket itu datang tanpa nama pengirim, hanya alamatnya yang tercantum. Nina membuka paket itu dengan hati-hati dan menemukan sebuah buku tua yang sudah lusuh. Di dalamnya, terdapat sebuah catatan kecil dengan tulisan tangan yang dikenalnya: Buka halaman 17.

Dengan rasa penasaran, Nina membuka halaman yang dimaksud. Di sana terdapat sebuah puisi pendek yang penuh dengan kata-kata yang mengingatkan Nina pada masa lalunya dengan Dika. Tapi ada sesuatu yang lebih menarik: di bagian bawah halaman, ada sebuah foto lama. Foto itu memperlihatkan Nina, Dika, dan Raka di sebuah acara sekolah, dengan senyum ceria di wajah mereka.

Nina terdiam, mencoba mengingat kembali momen itu. Mengapa seseorang mengirimkan foto ini? Apakah ini pekerjaan Dika? Atau mungkin Raka?

Nina memutuskan untuk menelepon Dika, tetapi ponselnya tidak diangkat. Beberapa menit kemudian, sebuah pesan masuk dari Dika: Maaf, aku sedang sibuk. Ada yang ingin aku bicarakan, tapi nanti saja. Jaga dirimu, ya.

Pesan itu semakin membuat Nina bingung. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Dika begitu tertutup? Dan apa yang sebenarnya disembunyikan Raka?

Hari-hari berikutnya, Nina tak bisa lepas dari bayang-bayang misteri yang mulai membayangi hidupnya. Pikirannya terus berputar pada tiga hal: Dika, Raka, dan foto lama itu. Nina merasa seakan ada sesuatu yang besar sedang mendekat, tapi dia tak tahu apa itu.

Hingga suatu malam, saat ia sedang berjalan-jalan di taman dekat rumahnya, Nina melihat seseorang dari kejauhan. Dia tak percaya pada apa yang dilihatnya. Itu adalah Dika, berbicara dengan seorang wanita yang tak dikenal. Mereka terlihat akrab, dan Dika tampak berbeda, seolah-olah dia menyembunyikan sesuatu.

Nina mendekat, tetapi sebelum dia bisa mendengar percakapan mereka, Dika menyadarinya dan segera mengakhiri pembicaraan itu. Wanita tersebut pergi dengan tergesa-gesa, meninggalkan Dika yang kini berdiri sendiri di bawah cahaya lampu taman.

Nina merasa ada sesuatu yang harus ia tanyakan. “Dika, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa kamu begitu tertutup akhir-akhir ini?”

Dika hanya tersenyum kecil, tetapi senyum itu tak bisa menyembunyikan kegelisahan di matanya. “Aku akan memberitahumu, Nina. Tapi tidak sekarang. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan terlebih dahulu.”

Nina merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ada sesuatu yang salah, dan dia tahu bahwa ini adalah awal dari sebuah perjalanan yang akan membawanya pada jawaban yang tak pernah ia duga sebelumnya.


Tanda Kedua

Waktu terus berlalu, dan Nina semakin tenggelam dalam misteri yang mengelilinginya. Raka semakin sering muncul di kehidupannya, dengan alasan yang tak selalu jelas. Kadang-kadang, ia hanya mampir untuk sekadar menyapa, dan di lain waktu, ia membawa sesuatu yang tak terduga, seperti seikat bunga atau undangan makan malam.

Nina merasa ada sesuatu yang berbeda dari Raka. Pria yang dulu dikenalinya sebagai teman yang ceria dan selalu penuh canda, kini tampak lebih serius dan pendiam. Seolah-olah, ia juga sedang membawa beban yang berat.

Suatu hari, Raka datang dengan sebuah undangan makan malam di rumahnya. “Aku ingin mengenalkan seseorang padamu,” katanya dengan senyum yang agak dipaksakan. Nina merasakan sesuatu yang aneh dalam undangan itu, tapi ia setuju untuk datang.

Malam itu, Nina merasa ada aura yang berbeda di rumah Raka. Ia disambut dengan ramah, tapi ada sesuatu yang tampak tersembunyi di balik senyuman Raka dan keluarganya. Mereka berbincang tentang banyak hal, tapi Nina merasa percakapan itu hanya menutupi sesuatu yang lebih penting.

Di tengah makan malam, Raka tiba-tiba mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya. “Nina, ada sesuatu yang ingin aku berikan padamu,” katanya sambil menyerahkan kotak itu.

Dengan hati-hati, Nina membuka kotak tersebut dan menemukan sebuah kalung dengan liontin berbentuk hati. Liontin itu tampak sederhana, tapi sangat indah. Di balik liontin itu, ada sebuah ukiran kecil yang berbunyi: Selalu di hatiku.

Nina merasa terharu, tapi juga bingung. “Raka, ini indah sekali, tapi apa maksudnya?”

Raka hanya tersenyum, tapi ada kesedihan di matanya. “Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa meskipun banyak hal yang telah berubah, ada hal-hal yang selalu sama.”

Malam itu, Nina pulang dengan perasaan campur aduk. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Raka begitu misterius? Dan apa hubungan ini dengan Dika?

Ketika Nina tiba di rumah, ia menerima sebuah pesan suara dari nomor yang tak dikenal. Suara di ujung sana adalah suara seorang wanita, dengan nada yang dingin dan penuh rahasia: Nina, jika kamu ingin tahu yang sebenarnya, datanglah ke alamat ini besok malam. Pesan itu disertai dengan alamat yang tak dikenal oleh Nina.

Nina merasakan getaran ketakutan dalam dirinya, tapi juga rasa penasaran yang tak bisa diabaikan. Dia merasa bahwa ini adalah bagian dari teka-teki besar yang sedang membayangi hidupnya. Dengan hati yang berdebar, ia memutuskan untuk datang ke alamat itu keesokan harinya, meskipun ia tak tahu apa yang menunggunya di sana.


Tanda Ketiga

Keesokan harinya, Nina menghabiskan hari dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia berusaha untuk menjalani hari seperti biasa, tetapi pikiran tentang malam nanti terus menghantuinya. Ketika senja mulai turun, Nina akhirnya memutuskan untuk berangkat ke alamat yang diberikan dalam pesan suara itu.

Alamat itu membawanya ke sebuah gedung tua di pinggiran kota, jauh dari keramaian. Gedung itu tampak sudah lama tak dihuni, dengan cat yang terkelupas dan jendela yang berdebu. Meskipun ragu, Nina melangkah masuk dengan hati-hati. Pintu depan gedung itu sedikit terbuka, seolah-olah sudah menunggunya.

Setelah beberapa langkah, Nina menemukan sebuah ruangan dengan cahaya temaram. Di dalamnya, ada seorang wanita yang berdiri dengan punggung menghadap ke pintu. Wanita itu mengenakan gaun hitam sederhana, dan rambut panjangnya terurai. Tanpa berbalik, wanita itu berbicara dengan suara yang tak asing bagi Nina.

“Aku tahu kamu akan datang, Nina.”

Nina merasakan bulu kuduknya meremang. “Siapa kamu? Apa yang kamu inginkan?”

Wanita itu perlahan berbalik, menampakkan wajah yang tak pernah Nina duga akan ditemuinya di sini. Itu adalah Tiara, sahabat lama Nina yang sudah lama tak berhubungan. Mata Tiara tampak penuh dengan kesedihan, seolah-olah dia menanggung beban yang berat.

“Tiara? Apa yang kamu lakukan di sini?” Nina bertanya dengan nada bingung.

Tiara mendekat, memberikan sebuah amplop kepada Nina. “Aku harus memberitahumu sesuatu yang seharusnya aku sampaikan sejak lama. Tetapi aku tak tahu bagaimana caranya, dan aku tak ingin melibatkanmu. Namun sekarang, aku tak punya pilihan lain.”

Nina membuka amplop itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya, ada beberapa foto dan surat-surat yang tampak sudah tua. Foto-foto itu menunjukkan Dika dan Tiara bersama-sama, di berbagai tempat yang tak pernah Nina kenal. Mereka tampak akrab, lebih dari sekadar teman biasa.

Tiara duduk di sebuah kursi kayu yang usang, pandangannya penuh dengan rasa bersalah. “Aku dan Dika… kami pernah bersama, sebelum kamu dan dia bertemu. Tapi ada sesuatu yang terjadi, sesuatu yang memisahkan kami. Dan aku tak pernah bisa melupakannya.”

Nina terdiam, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. “Mengapa kamu tak pernah memberitahuku?”

Tiara menunduk, matanya berkaca-kaca. “Karena aku tahu betapa pentingnya Dika bagimu. Dan aku takut, jika aku mengungkapkan semua ini, itu akan menghancurkan kita semua.”

Nina merasakan hatinya hancur. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan, tetapi kata-kata itu tak bisa keluar. Dia hanya bisa berdiri di sana, merasakan beban kenyataan yang baru saja terungkap.

“Aku menyesal, Nina. Tapi kamu harus tahu, ada sesuatu yang lebih besar dari semua ini. Sesuatu yang mungkin kamu tidak siap untuk mengetahuinya,” Tiara melanjutkan, suaranya semakin bergetar.

“Apalagi yang kamu sembunyikan dariku, Tiara?” Nina bertanya dengan suara berbisik.

Tiara menghela napas panjang, sebelum akhirnya berkata, “Aku bukan satu-satunya yang memiliki rahasia. Dika, Raka… mereka juga menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang berhubungan denganmu.”

Nina merasa jantungnya berhenti berdetak sejenak. “Apa maksudmu?”

“Semuanya akan menjadi jelas saat kamu bertemu dengan mereka. Tapi ingat, Nina, apa pun yang terjadi, jangan pernah lupa bahwa kita semua pernah memiliki hubungan yang kuat. Jangan biarkan semua ini menghancurkanmu,” kata Tiara, sebelum meninggalkan ruangan dengan cepat, meninggalkan Nina yang masih tertegun.

Nina berdiri di sana, dikelilingi oleh kegelapan dan bayangan masa lalu yang kini mulai muncul ke permukaan. Semua ini terlalu banyak untuk dipahami, tetapi dia tahu satu hal: hidupnya tak akan pernah sama lagi setelah malam ini.


Konfrontasi

Keesokan harinya, Nina memutuskan untuk menghadapi Dika dan Raka secara langsung. Dia tidak bisa lagi hidup dalam bayang-bayang misteri yang semakin menggelap. Dia menghubungi mereka berdua, meminta mereka untuk bertemu di tempat yang netral, sebuah taman yang sering mereka kunjungi bersama di masa lalu.

Dika dan Raka tiba di taman itu hampir bersamaan, dan suasana langsung menjadi tegang. Tidak ada yang berbicara pada awalnya, seakan mereka semua menunggu satu sama lain untuk memulai. Akhirnya, Nina yang pertama kali angkat bicara.

“Aku tahu ada sesuatu yang kalian sembunyikan dariku. Aku tidak tahu seberapa besar, atau seberapa berat itu, tapi aku ingin kebenaran. Aku sudah tidak tahan hidup dalam kegelapan ini,” kata Nina dengan suara tegas, meskipun hatinya bergetar.

Dika menunduk, tangannya menggenggam erat di pangkuannya. “Nina, aku… aku tidak tahu harus mulai dari mana. Ada begitu banyak yang ingin aku katakan, tapi setiap kali aku mencoba, aku merasa tak punya keberanian.”

Raka, yang biasanya penuh dengan senyuman, kini tampak suram. “Kami tidak pernah ingin menyakitimu, Nina. Kami hanya ingin melindungimu, dari sesuatu yang kami pikir akan membuatmu hancur.”

Nina merasa air matanya mulai mengalir, tetapi dia menahan diri untuk tidak menangis. “Melindungiku? Dari apa? Dari kenyataan bahwa kalian semua memiliki rahasia besar yang tak pernah aku tahu?”

Dika dan Raka saling bertukar pandang, seolah-olah sedang memutuskan siapa yang akan berbicara lebih dulu. Akhirnya, Dika yang angkat bicara.

“Nina, sebenarnya aku dan Tiara… kami pernah bersama sebelum aku bertemu denganmu. Tapi bukan itu yang ingin aku sampaikan. Setelah hubungan kami berakhir, aku menemukan sesuatu tentang diriku, sesuatu yang sangat sulit aku terima.”

Raka melanjutkan, “Dan saat itulah aku masuk ke dalam kehidupan Dika. Aku mencoba membantunya mengatasi masalah itu, tapi keadaan semakin rumit ketika kamu datang. Kami semua terjebak dalam situasi yang tak pernah kami bayangkan.”

Nina merasakan jantungnya berdetak kencang, tetapi ia tetap diam, menunggu kelanjutan cerita.

Dika mengambil napas dalam-dalam sebelum berkata, “Aku sakit, Nina. Sebuah penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Dan aku takut, jika kamu tahu, kamu akan meninggalkanku. Aku takut kehilanganmu, seperti aku kehilangan Tiara.”

Nina merasa dunia di sekelilingnya berputar. Semua mulai masuk akal, tapi tetap saja terasa seperti mimpi buruk. “Mengapa kamu tidak pernah memberitahuku? Mengapa harus merahasiakannya?”

“Aku tidak ingin kamu melihatku berbeda. Aku ingin kita tetap seperti dulu, tanpa ada yang berubah,” jawab Dika dengan suara penuh penyesalan.

Raka, yang selama ini berusaha menahan emosinya, akhirnya berbicara. “Aku tahu semuanya dari awal, Nina. Dan aku juga tahu bahwa pada akhirnya, kamu akan mengetahuinya. Tapi aku berjanji pada Dika untuk merahasiakannya, setidaknya sampai dia siap.”

Nina merasa kepalanya penuh dengan pertanyaan, tetapi satu hal yang pasti: semua orang yang ia sayangi ternyata menyembunyikan sesuatu darinya, dan itu membuatnya merasa hancur.

“Aku hanya ingin kebenaran. Tapi sekarang, aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkan kalian karena menyembunyikan ini dariku,” kata Nina sambil menghapus air matanya yang sudah mulai jatuh.

Dika dan Raka terdiam, tak tahu harus berkata apa. Mereka tahu, apa pun yang mereka katakan sekarang, tidak akan mengubah kenyataan pahit yang sudah terungkap.


Isyarat Terakhir

Hari-hari berlalu, dan Nina terus merenungkan apa yang telah terjadi. Meski merasa hancur, dia tahu bahwa dia harus mengambil keputusan. Dia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu yang penuh luka dan rahasia. Namun, sebelum dia bisa melakukan apa-apa, sebuah kejadian tak terduga terjadi.

Suatu malam, ketika Nina sedang bersiap untuk tidur, dia menerima sebuah panggilan telepon. Itu adalah Tiara, dan suaranya terdengar panik.

“Nina, kamu harus datang ke rumah sakit sekarang. Dika… dia…,” suara Tiara pecah, tak bisa melanjutkan kalimatnya.

Nina langsung bergegas ke rumah sakit tanpa berpikir panjang. Ketika dia tiba, dia menemukan Tiara dan Raka di ruang tunggu, wajah mereka penuh dengan kesedihan. Mereka memberitahunya bahwa Dika telah pingsan dan dibawa ke rumah sakit dalam keadaan kritis.

Nina merasa dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Dia berjalan cepat menuju ruang perawatan, berharap masih ada kesempatan untuk berbicara dengan Dika. Ketika dia masuk ke ruangan itu, dia melihat Dika terbaring lemah di atas tempat tidur, dengan selang infus yang terhubung ke tubuhnya.

Nina mendekat, menggenggam tangan Dika yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir tanpa henti saat ia menyadari betapa rapuhnya kondisi Dika saat ini. “Dika, aku di sini. Kumohon, bertahanlah,” bisiknya dengan suara bergetar.

Dika membuka matanya perlahan, tampak berusaha keras untuk tersenyum meskipun terlihat jelas betapa lemahnya ia. “Nina… maafkan aku. Aku tidak ingin kamu melihatku seperti ini,” katanya dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Nina menggelengkan kepalanya, menahan isak tangis yang semakin membesar. “Jangan minta maaf. Aku hanya ingin kamu baik-baik saja. Kita bisa melewati ini bersama.”

Dika menatap Nina dengan mata yang penuh kesedihan dan penyesalan. “Aku tidak ingin kamu terbebani dengan diriku. Aku hanya ingin kamu bahagia, meski itu berarti tanpa diriku.”

Kata-kata Dika membuat Nina terdiam. Semua perasaan campur aduk di dalam hatinya, antara cinta, marah, dan ketidakpastian. Namun di saat itu, hanya ada satu hal yang ingin ia sampaikan. “Aku mencintaimu, Dika. Selalu mencintaimu, apapun yang terjadi.”

Dika menghela napas panjang, seolah-olah sedang melepaskan beban yang selama ini ia bawa. “Aku juga mencintaimu, Nina. Kamu adalah cahaya dalam hidupku, dan aku bersyukur bisa memiliki waktu bersamamu, meski hanya sementara.”

Nina merasakan hatinya remuk, mengetahui bahwa waktu mereka mungkin tinggal sedikit. Dia memeluk Dika, merasakan detak jantung yang semakin lemah, dan berdoa dalam hati agar waktu berhenti sejenak, agar mereka bisa menikmati momen ini lebih lama.

Beberapa jam berlalu, dan dokter akhirnya meminta Nina untuk keluar agar Dika bisa beristirahat. Dengan berat hati, Nina meninggalkan ruangan itu, bergabung dengan Tiara dan Raka di ruang tunggu. Tiara menatapnya dengan pandangan penuh empati, sementara Raka terlihat berusaha keras menahan emosinya.

“Bagaimana keadaannya?” tanya Tiara dengan suara lembut.

“Dia… dia lemah, tapi dia masih berjuang,” jawab Nina, suaranya serak akibat menangis.

Raka menggenggam tangan Nina dengan lembut, memberikan dukungan tanpa kata. Mereka bertiga duduk di sana dalam keheningan, menunggu dengan cemas kabar selanjutnya dari dokter.

Waktu terus berlalu, dan akhirnya seorang dokter keluar dari ruang perawatan dengan wajah serius. “Kami telah melakukan yang terbaik. Sekarang, kita hanya bisa menunggu dan berharap. Kondisinya sangat kritis, tapi kami akan terus memantau.”

Nina mengangguk pelan, merasa tak berdaya menghadapi situasi ini. Dia tahu bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu dan berdoa.


Penutup Luka

Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Nina, Tiara, dan Raka terus bergantian menjaga Dika di rumah sakit, berharap ada keajaiban yang bisa menyelamatkan hidupnya. Namun, meski begitu banyak harapan yang mereka tanam, Dika semakin melemah setiap harinya.

Pada suatu pagi yang cerah, Nina menerima panggilan dari rumah sakit. Suara perawat di ujung telepon itu terdengar tenang, tapi ada nada keprihatinan yang tak bisa disembunyikan. “Nina, Dika ingin bertemu denganmu. Ini mungkin saat-saat terakhirnya.”

Hati Nina terasa seperti berhenti berdetak sejenak. Dengan perasaan takut dan sedih yang bercampur aduk, dia segera bergegas ke rumah sakit. Ketika dia masuk ke ruangan Dika, dia menemukan Dika yang tampak lebih tenang, meskipun tubuhnya terlihat sangat lemah.

Dika tersenyum tipis ketika melihat Nina masuk. “Terima kasih sudah datang, Nina. Aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat mencintaimu. Dan aku ingin kamu melanjutkan hidupmu, tanpa rasa bersalah.”

Nina mendekat, menggenggam tangan Dika yang semakin dingin. “Jangan bicara seperti itu, Dika. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpamu.”

Dika menatap Nina dengan lembut, seolah-olah mencoba menenangkan hatinya. “Kamu akan baik-baik saja, Nina. Kamu adalah wanita yang kuat. Aku percaya kamu akan menemukan kebahagiaan, meskipun tanpa aku.”

Air mata Nina mengalir deras, namun dia tahu bahwa Dika berkata demikian bukan untuk menyakitinya, tetapi untuk memberinya kekuatan. Dia memeluk Dika erat-erat, merasakan detak jantung yang semakin melemah.

“Terima kasih, Nina. Untuk semua cinta dan kebahagiaan yang kamu berikan padaku,” bisik Dika sebelum akhirnya matanya perlahan tertutup, meninggalkan Nina dengan kenangan yang akan selalu dia ingat.

Nina menangis dalam pelukan Dika yang sudah tak bernyawa lagi, merasakan luka mendalam yang akan butuh waktu lama untuk sembuh. Namun, di balik semua kesedihan itu, ada rasa syukur karena dia diberi kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal, meskipun itu sangat menyakitkan.


Epilog: Cahaya Baru

Setelah kepergian Dika, hidup Nina berubah drastis. Hari-harinya terasa hampa tanpa kehadiran Dika, dan luka di hatinya masih terasa perih. Namun, dia tahu bahwa dia harus melanjutkan hidup, seperti yang Dika inginkan.

Beberapa bulan kemudian, Nina mulai menemukan cara untuk menyembuhkan dirinya. Dia menghabiskan lebih banyak waktu dengan Raka dan Tiara, yang selalu ada untuk mendukungnya. Mereka bertiga kembali ke taman tempat mereka sering berkumpul, mengenang momen-momen indah yang pernah mereka bagi.

Pada suatu hari yang cerah, Nina duduk sendirian di bangku taman itu, merenungi perjalanan hidupnya. Dia tersenyum tipis, menyadari bahwa meskipun Dika telah tiada, cinta yang mereka miliki akan selalu menjadi bagian dari dirinya. Dan meskipun luka itu masih ada, dia mulai merasakan bahwa luka itu bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari babak baru dalam hidupnya.

Nina menatap langit, mengingat pesan terakhir Dika. Dia tahu bahwa dia harus melanjutkan hidup, bukan untuk melupakan, tetapi untuk menghargai semua kenangan indah yang telah mereka ciptakan bersama. Dan di saat itulah, Nina merasa bahwa dia akhirnya bisa melangkah maju, dengan cinta dan kekuatan yang pernah Dika berikan padanya.

By Amelya A.T

Lihat Juga Karya Tulis Lainnya

One thought on “3 Isyarat Luka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *