Jejak Impian di Tanah Asing

Jejak Impian di Tanah Asing

Bagian 1: Awal Perjalanan

Senja mulai merambat di cakrawala kota Jakarta ketika Rani menutup pintu apartemennya untuk terakhir kali. Koper biru tua yang sudah lusuh itu terasa lebih berat dari biasanya, seolah-olah membawa seluruh beban keraguan dan harapan yang berkecamuk dalam hatinya. Di usia 28 tahun, Rani akhirnya memberanikan diri untuk melakukan apa yang selama ini hanya berani ia impikan: berkeliling dunia selama setahun penuh.

“Kamu yakin dengan keputusan ini, Ran?” Suara ibunya terngiang kembali di telinganya, campuran antara kekhawatiran dan ketidaksetujuan yang tak bisa disembunyikan. “Bagaimana dengan karirmu? Dengan tabunganmu?”

Rani menghela napas panjang, menggenggam erat tali ranselnya saat melangkah menuju lift. Ya, dia sudah memikirkan semuanya. Resign dari pekerjaannya sebagai desainer grafis di sebuah agensi periklanan ternama bukanlah keputusan mudah. Tapi setelah enam tahun bekerja tanpa henti, Rani merasa hidupnya terjebak dalam rutinitas yang mencekik. Setiap hari terasa seperti pengulangan hari sebelumnya, tanpa ada yang benar-benar bermakna.

“Justru karena itu, Bu,” jawabnya waktu itu. “Aku ingin mencari makna hidupku. Aku ingin melihat dunia dengan mata dan hatiku sendiri.”

Lift berdenting pelan, menandakan ia telah sampai di lantai dasar. Rani melangkah keluar, menyeret kopernya melewati lobi apartemen yang sepi. Penjaga keamanan mengangguk ramah padanya, mungkin sedikit heran melihatnya membawa koper besar di jam segini.

“Mau kemana, Mbak Rani?” tanya Pak Karno, si penjaga yang sudah Rani kenal baik selama tiga tahun tinggal di sini.

Rani tersenyum lebar, “Mau keliling dunia, Pak!”

Pak Karno tertawa kecil, mengira Rani hanya bercanda. “Wah, hati-hati ya Mbak. Jangan lupa oleh-olehnya!”

“Pasti, Pak,” jawab Rani, setengah berbisik pada dirinya sendiri. “Pasti.”

Taksi yang sudah ia pesan sebelumnya telah menunggu di depan gedung. Sopir taksi, seorang pria paruh baya dengan kumis tebal, membantu Rani memasukkan kopernya ke dalam bagasi.

“Ke Soekarno-Hatta ya, Mbak?” tanya sopir itu memastikan.

Rani mengangguk, “Iya, Pak. Terminal 3.”

Saat mobil mulai melaju menembus kemacetan Jakarta yang mulai padat, Rani merasakan campuran antara kegembiraan dan kecemasan yang aneh di perutnya. Inikah rasanya meninggalkan zona nyaman? Inikah rasanya melangkah ke arah ketidakpastian dengan mata terbuka lebar?

Pemandangan kota yang familiar perlahan berganti. Gedung-gedung pencakar langit, mall-mall megah, dan jalan-jalan yang penuh sesak dengan kendaraan bermotor mulai berkurang, digantikan dengan pemandangan pinggiran kota yang lebih lengang. Rani menyandarkan kepalanya ke jendela, membiarkan pikirannya melayang ke rencana perjalanannya.

Negara pertama yang akan ia kunjungi adalah Nepal. Kenapa Nepal? Rani sendiri tidak yakin. Mungkin karena film dokumenter tentang pendakian Everest yang pernah ia tonton. Atau mungkin karena cerita teman kantornya yang pernah melakukan trekking di Annapurna. Yang jelas, ada sesuatu tentang negeri di kaki Himalaya itu yang memanggilnya, seolah-olah ada benang tak kasat mata yang menariknya ke sana.

“Mbak mau liburan ya?” Suara sopir taksi membuyarkan lamunannya.

Rani tersenyum, “Bisa dibilang begitu, Pak. Tapi bukan liburan biasa.”

“Oh ya? Memangnya mau berapa lama, Mbak?”

“Setahun, Pak,” jawab Rani, masih tak percaya dengan kata-katanya sendiri.

Sopir taksi itu menoleh sejenak, matanya melebar karena terkejut. “Wah, lama sekali, Mbak! Pasti Mbak orang kaya ya?”

Rani tertawa kecil. “Bukan, Pak. Saya cuma orang biasa yang nekat saja.”

“Nekat bagaimana, Mbak?”

“Ya… nekat mengejar impian,” jawab Rani, lebih kepada dirinya sendiri.

Sepanjang perjalanan ke bandara, Rani menceritakan rencananya pada sopir taksi yang ternyata cukup antusias mendengarkan. Ia bercerita tentang bagaimana ia telah menabung selama bertahun-tahun untuk perjalanan ini, bagaimana ia telah menjual sebagian besar barang-barangnya, dan bagaimana ia berencana untuk bekerja paruh waktu di negara-negara yang ia kunjungi untuk menambah dana perjalanan.

“Mbak berani sekali,” komentar sopir itu dengan nada kagum. “Saya sih tidak berani seperti itu. Tapi bagus lah, Mbak. Selagi masih muda, selagi masih bisa.”

Kata-kata sopir itu entah bagaimana membuat Rani merasa lebih yakin dengan keputusannya. Ya, dia memang nekat. Ya, ini memang gila. Tapi bukankah hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dalam keraguan dan penyesalan?

Ketika akhirnya mereka tiba di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, langit sudah benar-benar gelap. Rani membayar ongkos taksi, memberikan tip ekstra pada sopir yang ramah itu, lalu menyeret kopernya masuk ke dalam terminal.

Suasana bandara yang hiruk pikuk menyambutnya. Orang-orang berlalu lalang dengan tergesa-gesa, beberapa menyeret koper sepertinya, yang lain hanya membawa tas punggung. Rani berdiri sejenak, memandang sekeliling, meresapi momen ini. Inilah awal dari petualangan besarnya.

Dengan langkah mantap, Rani berjalan menuju konter check-in maskapai yang akan membawanya ke Kathmandu. Setiap langkahnya terasa ringan, seolah-olah beban yang selama ini menghimpitnya telah terangkat.

Saat menyerahkan paspornya pada petugas check-in, Rani merasakan getaran halus di dadanya. Ini dia, tidak ada jalan kembali sekarang. Semua keraguan, semua ketakutan, semua pertanyaan “bagaimana kalau” yang selama ini menghantuinya, semuanya harus ia tinggalkan di sini, di tanah kelahirannya.

“Selamat malam, Ibu Rani,” sapa petugas check-in dengan senyum ramah. “Anda terbang ke Kathmandu malam ini?”

Rani mengangguk, senyum lebar tak bisa ia sembunyikan. “Iya, benar.”

“Baik, mohon tunggu sebentar ya,” kata petugas itu sambil mengetik sesuatu di komputernya. “Oh, saya lihat Anda hanya memesan tiket sekali jalan? Tidak ada tiket kembali?”

Untuk sesaat, Rani terdiam. Pertanyaan sederhana itu entah bagaimana membuat semuanya terasa lebih nyata. Ia memang hanya memesan tiket sekali jalan. Karena ia tidak tahu kapan atau dari mana ia akan kembali.

“Iya, benar,” jawab Rani akhirnya, suaranya penuh keyakinan. “Saya tidak tahu kapan akan kembali.”

Petugas itu mengangkat alisnya, terlihat sedikit terkejut tapi kemudian tersenyum lebar. “Wah, sepertinya akan jadi perjalanan yang menarik ya, Bu. Semoga menyenangkan!”

Rani mengangguk, “Terima kasih banyak.”

Setelah menyelesaikan proses check-in dan menyerahkan kopernya, Rani berjalan menuju area imigrasi. Antrean cukup panjang, tapi Rani tidak keberatan. Ia menggunakan waktu ini untuk merenung, untuk mempersiapkan diri menghadapi apa yang akan datang.

Saat tiba gilirannya, Rani menyerahkan paspor dan boarding pass pada petugas imigrasi. Petugas itu, seorang wanita muda dengan wajah serius, memeriksa dokumennya dengan teliti.

“Tujuan perjalanan Anda?” tanya petugas itu tanpa mengangkat wajahnya dari paspor Rani.

“Wisata,” jawab Rani singkat.

“Berapa lama Anda akan tinggal di Nepal?”

Rani terdiam sejenak. Ia belum memikirkan hal ini sebelumnya. “Saya… belum tahu pasti. Mungkin sebulan atau dua bulan.”

Petugas imigrasi itu akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Rani dengan pandangan menyelidik. “Anda tidak punya tiket kembali?”

“Tidak,” jawab Rani jujur. “Saya berencana untuk melanjutkan perjalanan ke negara lain setelah Nepal.”

“Oh,” kata petugas itu, ekspresinya sedikit melunak. “Perjalanan panjang ya?”

Rani mengangguk, “Iya, saya berencana untuk berkeliling dunia selama setahun.”

Untuk pertama kalinya, petugas imigrasi itu tersenyum. “Wow, itu pasti akan jadi pengalaman yang luar biasa. Semoga perjalanan Anda menyenangkan.”

“Terima kasih,” balas Rani, lega karena tidak ada masalah dengan dokumen perjalanannya.

Setelah melewati pemeriksaan keamanan, Rani akhirnya tiba di ruang tunggu. Ia masih punya waktu sekitar dua jam sebelum penerbangannya. Duduk di salah satu kursi yang menghadap ke landasan pacu, Rani mengeluarkan buku catatan kecil dari dalam tasnya.

Buku itu adalah hadiah dari sahabatnya, Dina, saat pesta perpisahan kecil-kecilan yang diadakan teman-teman kantornya minggu lalu. “Untuk mencatat semua petualanganmu,” kata Dina waktu itu. “Agar kamu bisa berbagi cerita dengan kami saat kamu kembali nanti.”

Rani membuka halaman pertama buku itu dan mulai menulis:

6 Agustus 2024 Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta

Akhirnya, hari ini tiba juga. Hari di mana aku memulai petualangan yang selama ini hanya berani kuimpikan. Aku takut? Tentu saja. Tapi aku juga sangat, sangat bersemangat.

Entah apa yang akan kutemui di luar sana. Entah siapa yang akan kutemui. Tapi aku tahu satu hal: aku siap untuk semua itu. Aku siap untuk terkejut, untuk belajar, untuk bertumbuh.

Selamat tinggal, Jakarta. Selamat tinggal, kehidupanku yang lama. Aku pergi untuk menemukan diriku yang baru.

Rani menutup bukunya, matanya menerawang ke arah pesawat-pesawat yang lepas landas dan mendarat di kejauhan. Setiap pesawat yang ia lihat membawa impian dan harapan orang-orang ke tempat-tempat baru, ke petualangan-petualangan baru.

Dan sebentar lagi, salah satu pesawat itu akan membawanya memulai petualangan terbesarnya.

Bagian 2: Kathmandu – Awal Petualangan

Pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Tribhuvan, Kathmandu. Rani mengerjapkan matanya, masih setengah mengantuk setelah penerbangan selama hampir enam jam. Pemandangan di luar jendela pesawat membuatnya terkesiap – pegunungan yang menjulang tinggi di kejauhan, diselimuti kabut tipis pagi hari.

“Selamat datang di Kathmandu,” suara pramugari terdengar melalui pengeras suara. “Waktu setempat menunjukkan pukul 07.30 pagi. Suhu di luar saat ini 18 derajat Celsius.”

Rani menarik napas dalam-dalam. Udara terasa berbeda, lebih tipis, lebih dingin. Ia telah tiba di Nepal, negara pertama dalam perjalanan panjangnya.

Proses imigrasi dan pengambilan bagasi berjalan lancar. Rani melangkah keluar bandara dengan hati berdebar. Hiruk pikuk kota Kathmandu langsung menyambutnya – suara klakson yang bersahutan, aroma rempah-rempah yang menguar dari warung-warung pinggir jalan, dan tentu saja, pemandangan Pegunungan Himalaya yang megah di kejauhan.

Rani memesan taksi untuk mengantarnya ke sebuah hostel di daerah Thamel, pusat wisata di Kathmandu. Sepanjang perjalanan, matanya tak henti memandang keluar jendela, menyerap setiap detail kota asing ini. Bangunan-bangunan tua dengan arsitektur khas Nepal berdiri berdampingan dengan gedung-gedung modern. Para penduduk lokal berlalu lalang, sebagian mengenakan pakaian tradisional, sebagian lagi berpakaian kasual ala Barat.

Setibanya di hostel, Rani disambut oleh seorang wanita Nepal yang ramah bernama Priya. “Namaste,” sapa Priya dengan senyum lebar. “Selamat datang di Kathmandu. Ini pertama kalinya Anda ke Nepal?”

Rani mengangguk, “Ya, ini pertama kalinya saya ke sini. Sebenarnya, ini pertama kalinya saya keluar dari Indonesia.”

“Wah, kalau begitu Anda harus mencoba banyak hal di sini!” kata Priya antusias. “Anda sudah punya rencana apa saja selama di Kathmandu?”

Rani menggeleng, “Belum, saya masih belum tahu harus mulai dari mana.”

“Jangan khawatir,” Priya menepuk pundak Rani lembut. “Saya akan memberikan beberapa rekomendasi. Tapi pertama-tama, istirahatlah dulu. Pasti lelah setelah perjalanan panjang.”

Rani berterima kasih dan segera menuju kamarnya. Kamar itu kecil tapi nyaman, dengan jendela yang menghadap ke jalanan ramai Thamel. Rani membuka jendela, membiarkan udara segar dan suara-suara kota masuk ke dalam kamar.

Ia mengeluarkan buku catatannya dan mulai menulis:

7 Agustus 2024 Kathmandu, Nepal

Hari pertama di negeri asing. Semua terasa begitu baru, begitu berbeda. Udara, suara, pemandangan, bahkan aroma – semuanya asing tapi entah mengapa terasa familiar. Mungkin karena inilah yang selama ini kucari – sesuatu yang baru, sesuatu yang menantang.

Besok aku akan mulai menjelajahi kota ini. Aku tidak tahu apa yang akan kutemui, tapi aku siap untuk semua kemungkinan.

Keesokan harinya, dengan berbekal peta dan rekomendasi dari Priya, Rani memulai petualangannya di Kathmandu. Ia mengunjungi Durbar Square, kompleks istana kuno yang menjadi situs warisan dunia UNESCO. Di sana, ia terpesona oleh arsitektur kuil-kuil Hindu dan Buddha yang rumit, patung-patung dewa dewi yang menghiasi setiap sudut, dan hiruk pikuk kehidupan sehari-hari penduduk lokal yang berbaur dengan para turis.

Saat sedang mengagumi ukiran kayu yang indah di salah satu kuil, Rani tidak sengaja menabrak seseorang. “Oh, maaf!” serunya refleks dalam bahasa Indonesia.

“Tidak apa-apa,” jawab orang itu dalam bahasa Indonesia yang fasih, membuat Rani terkejut.

Rani mendongak dan melihat seorang pria muda dengan kamera menggantung di lehernya. “Kamu orang Indonesia?” tanya Rani.

Pria itu tersenyum, “Iya, aku Adi. Kamu juga dari Indonesia ya?”

Mereka berkenalan dan mulai berbincang. Ternyata Adi adalah seorang fotografer freelance yang sedang dalam perjalanan keliling Asia Selatan. Ia sudah berada di Nepal selama sebulan dan berencana untuk melanjutkan ke India minggu depan.

“Kamu sendiri?” tanya Adi.

Rani menceritakan tentang rencananya untuk berkeliling dunia selama setahun. Mata Adi melebar kagum. “Wow, itu keren banget! Aku juga pengen kayak gitu, tapi belum berani ambil cuti panjang dari kerjaan.”

Mereka memutuskan untuk menjelajahi kota bersama. Adi, dengan pengalamannya selama sebulan di Kathmandu, menjadi pemandu informal bagi Rani. Ia membawa Rani ke tempat-tempat yang jarang dikunjungi turis, memperkenalkannya pada makanan lokal yang lezat seperti momo (pangsit kukus khas Nepal) dan dal bhat (nasi dengan sup lentil), dan mengajarinya beberapa kata dalam bahasa Nepal.

Hari-hari berlalu dengan cepat. Rani merasa semakin nyaman di Kathmandu. Ia mulai mengenal beberapa penduduk lokal, belajar tawar-menawar di pasar tradisional, dan bahkan mulai terbiasa dengan lalu lintas yang semrawut.

Suatu malam, saat sedang menikmati teh masala di atap hostel bersama Adi dan beberapa tamu hostel lainnya, Rani merasakan getaran aneh. Awalnya ia mengira itu hanya perasaannya saja, tapi kemudian getaran itu semakin kuat.

“Gempa!” teriak seseorang.

Dalam sekejap, suasana berubah panik. Orang-orang berlarian mencari tempat yang aman. Rani membeku, tidak tahu harus berbuat apa. Ini pertama kalinya ia mengalami gempa bumi.

Adi dengan sigap menarik tangan Rani. “Ayo, kita harus ke tempat terbuka!”

Mereka berlari menuruni tangga hostel yang bergoyang, bergabung dengan kerumunan orang yang panik di jalanan. Gempa berlangsung selama beberapa menit yang terasa seperti selamanya bagi Rani.

Ketika akhirnya getaran mereda, Rani masih gemetar ketakutan. Adi merangkulnya, berusaha menenangkan. “Sudah tidak apa-apa,” katanya lembut. “Gempa sudah berhenti.”

Malam itu, tidak ada yang berani kembali ke dalam gedung. Semua orang, termasuk Rani dan Adi, tidur di luar dengan beralaskan apa saja yang bisa mereka temukan. Di tengah ketidaknyamanan dan ketakutan itu, Rani justru merasakan sesuatu yang aneh – rasa kebersamaan yang kuat dengan orang-orang di sekitarnya, baik penduduk lokal maupun sesama turis.

Keesokan paginya, Rani menulis di buku catatannya:

15 Agustus 2024 Kathmandu, Nepal

Semalam, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mengalami gempa bumi. Itu adalah pengalaman yang menakutkan, tapi juga membuka mataku. Dalam situasi seperti itu, tidak ada lagi batas negara, ras, atau status sosial. Kita semua hanyalah manusia yang berusaha bertahan hidup.

Aku datang ke sini untuk mencari petualangan, tapi aku tidak menyangka akan mendapatkan pelajaran hidup yang begitu berharga. Mungkin inilah esensi dari perjalanan – bukan hanya tentang melihat tempat-tempat baru, tapi juga tentang mengalami hal-hal yang mengubah cara kita memandang dunia.

Setelah kejadian gempa itu, Rani merasa hubungannya dengan Adi semakin dekat. Mereka menghabiskan lebih banyak waktu bersama, berbagi cerita tentang hidup mereka di Indonesia dan impian-impian mereka.

“Jadi, apa rencanamu setelah ini?” tanya Adi suatu hari, saat mereka sedang menikmati pemandangan matahari terbenam di Swayambhunath, kuil Buddha yang juga dikenal sebagai “Kuil Monyet”.

Rani terdiam sejenak. “Aku… belum tahu pasti. Mungkin ke India?”

Adi mengangguk. “Kebetulan, aku juga berencana ke sana minggu depan. Bagaimana kalau kita pergi bersama?”

Rani merasakan jantungnya berdebar lebih kencang. Ia baru mengenal Adi selama beberapa minggu, tapi entah mengapa ia merasa nyaman dan aman bersamanya. Namun, bukankah tujuan perjalanan ini adalah untuk menemukan jati dirinya? Apakah pergi bersama orang lain akan mengubah tujuan itu?

“Aku… akan memikirkannya,” jawab Rani akhirnya.

Malam itu, Rani tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan tawaran Adi. Di satu sisi, ia merasa nyaman bersama Adi dan ide untuk menjelajahi India bersama terdengar menyenangkan. Di sisi lain, ia takut akan terlalu bergantung pada Adi dan kehilangan esensi dari perjalanan solo-nya.

Setelah berjam-jam bergulat dengan pikirannya, Rani akhirnya membuat keputusan. Keesokan paginya, ia menemui Adi di kafe tempat mereka biasa sarapan.

“Adi,” kata Rani setelah menarik napas dalam-dalam. “Aku sangat menghargai tawaranmu, tapi… aku rasa aku akan melanjutkan perjalanan sendiri.”

Adi terlihat kecewa, tapi ia tersenyum pengertian. “Aku mengerti, Ran. Ini memang perjalananmu sendiri. Aku tidak ingin mengubah itu.”

Mereka menghabiskan hari terakhir bersama dengan mengunjungi tempat-tempat favorit mereka di Kathmandu. Saat berpisah di bandara, Adi memberikan Rani sebuah amplop.

“Jangan dibuka sekarang,” katanya. “Buka saja saat kamu sudah di pesawat.”

Rani mengangguk, matanya berkaca-kaca. Mereka berpelukan erat sebelum akhirnya Rani melangkah menuju gate keberangkatan.

Di dalam pesawat, Rani membuka amplop dari Adi. Di dalamnya ada selembar foto yang diambil Adi – foto Rani yang sedang tersenyum lebar di Durbar Square, dengan latar belakang kuil-kuil kuno. Di balik foto itu, Adi menulis:

“Untuk Rani, sang penjelajah berani. Semoga kamu menemukan apa yang kamu cari. Dan ingat, dunia ini luas, tapi hati kita selalu bisa bertemu kembali. Sampai jumpa di perjalanan berikutnya. – Adi”

Air mata Rani menetes membasahi foto itu. Ia merasa sedih meninggalkan Kathmandu dan Adi, tapi juga bersemangat untuk petualangan selanjutnya. Saat pesawat lepas landas, Rani memandang keluar jendela, melihat Pegunungan Himalaya untuk terakhir kalinya.

21 Agustus 2024 Dalam perjalanan ke New Delhi, India

Selamat tinggal, Nepal. Terima kasih untuk semua pelajaran dan kenangan. Aku datang sebagai orang asing, tapi pergi dengan membawa sebagian dari negeri ini dalam hatiku.

Dan untuk Adi… mungkin suatu hari nanti, jalan kita akan bertemu kembali. Sampai saat itu, semoga kita masing-masing menemukan apa yang kita cari.

India, aku datang. Apa yang akan kau ajarkan padaku?

By Erika L.H

Lihat Juga Karya Tulis Lainnya